Suksesi Nasional Tulungagung – perubahan iklim, kenapa perubahan iklim? Beberapa data hasil riset dan temuan lapang menjelaskan bahwa perubahan iklim membawa dampak cukup besar bagi keberlangsungan ekologis. Begitupun dengan penghidupan mahluk semesta alam.
Hasil Study Climate Central menunjukkan data tahun 2020, 300 juta penduduk dunia akan tenggelam akibat naiknya air permukaan air laut. Di Asia, Indonesia, Tiongkok Daratan, Bangladesh, Vietnam, Thailand sesuai dengan karakter geografis yang tinggal daerah pesisir laut. Peneliti memproyeksikan permukaan air laut akan naik 25-50 cm pada tahun 2050. Kemudian pada tahun 2100, air laut akan menggenangi sebagian besar kota pesisir Indonesia.
Persoalan ini, tentu tak begitu saja hadir. Namun ada hubungan Sebab akibat. Mungkin karena perlakuan manusia, atau yang lain. Tapi pastinya iklim kita berubah. Bukan membaik, tapi mengancam penghidupan.
Terkait kondisi perubahan iklim yang semakin memburuk, empat Desa di Tulungagung, yaitu Desa Tanggung, Desa Pojok, Kecamatan Campurdarat, Desa Pucungkidul, Kecamatan Boyolangu dan Desa Kresikan, Kecamatan Tanggunggunung mempunyai Peraturan Desa (Perdes) tentang pengelolaan hutan desa dan lembaga pengelolanya.
“Ini desa di Tulungagung yang sudah mengerjakan payung hukum dan kelembagaan dalam bentuk Perdes,” kata Kepala Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Tulungagung Santoso melalui Kabid Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan Hidup Suroso setelah sarasehan desa tanggap perubahan iklim kawasan walikukun di Desa Pojok, Kamis (23/9/2021).
Suroso menjelaskan, Proklim adalah Gerakan Nasional Pengendalian Perubahan Iklim di Tingkat Tapak Berbasis Komunitas di Indonesia. Proklim merupakan program sinergi aksi adaptasi dan mitigasi perubahan iklim yang berlingkup nasional guna meningkatkan keterlibatan masyarakat dan pemangku kepentingan lain, untuk penguatan kapasitas adaptasi dan penurunan emisi gas rumah kaca (GRK).
Suroso mengharapkan, melalui Proklim ini pemerintah mengajak semua individu masyarakat untuk bersama-sama menjadi pelopor dan penggerak gaya hidup bersih dan sehat di lingkungannya masing-masing. “Kami meyakini kita semua bisa dan dapat menjadi motor utama dalam menciptakan kelestarian lingkungan hidup,” yakin Suroso.
Dirinya juga menekankan pentingnya kolaborasi antara semua pihak untuk meningkatkan kapasitas masyarakat desa. Dukungan dari berbagai pihak seperti pemerintah dan swasta dapat dirintis untuk memperkuat aksi-aksi adaptasi dan mitigasi perubahan iklim serta tentunya keberlanjutan dari kegiatan ini.
“Kita perlu bekerja cerdas dengan mengoptimalkan seluruh potensi yang ada. Dalam setiap tahap tentu akan ada tantangan yang kita hadapi dan perlu disikapi, dengan terus melakukan inovasi serta beradaptasi dengan perubahan yang terjadi,” terang Suroso.
Lebih lanjut, Suroso menjelaskan, upaya adaptasi dan mitigasi perubahan iklim yang dapat dilakukan masyarakat dalam menyesuaikan diri terhadap dampak perubahan iklim bukanlah sesuatu baru. Menurutnya, bahkan kegiatan adaptasi dan mitigasi merupakan kegiatan umum atau kegiatan sehari-hari yang selalu diajarkan dan diwariskan dari para orang tua.
Menurut Suroso, program proklim di 13 desa yang tersebar di 5 kecamatan (Campurdarat, Boyolangu, Sumbergempol, Kalidawir, Tanggunggunung) itu menitikberatkan pada komitmen desa di wilayah hutan Bukit Walikukun Tulungagung untuk menggunakan kewenangan desa dalam program adaptasi dan mitigasi perubahan iklim.
Selama ini, lanjut Suroso, desa memang sudah banyak yang mengadakan program reboisasi atau penghijauan tapi tidak pernah dimasukkan pada nomenklatur proklim.
“Perdes penting karena sebagai bukti komitmen desa. Kalau tidak ada perdes tapi melakukan proklim itu tetap proklim, cuma tidak bisa masuk dalam sebuah nomenklatur desa proklim,” ucapnya.
Dijelaskannya, ketentuan proklim sudah diatur dalam UU Konservasi, salah satunya bahwa 200 meter dari sumber air serta 2 meter kiri kanan dari ancar adalah wilayah konservasi dan itu yang sampai saat ini belum diadopsi oleh desa, maka Perdes berfungsi untuk mengadopsi itu semua.
Selama ini pengelolaan hutan perhatiannya hanya petani penggarap dan ketahanan pangan, tapi konservasinya diabaikan dan mati. Untuk kurun waktu satu angkatan atau satu periode (8-12 tahun) itu tidak masalah, tapi selebihnya bisa dipastikan akan bermasalah.
“Desa proklim menyempurnakan kemungkinan mengelola hutan dengan cara yang lebih bijak. Dan proklim adalah cara hidup baru yang lebih baik, gampangnya begitu,” tutup Suroso.
Sementara itu kepala Desa Pojok, Kecamatan Campurdarat Sapani mengatakan acara sarasehan tanggap perubahan iklim di kawasan Walikukun Tulungagung diikuti oleh 13 kepala desa di 5 kecamatan yaitu Desa Pojok, Pelem, Tanggung Kecamatan Campurdarat, Desa Sanggrahan, Pucuk Kidul dan Wajak Kidul Kecamatan Boyolangu, Desa Junjung Kecamatan Sumbergempol, Desa Betak, Joho dan Pagersari Kecamatan Kalidawir, Desa Pakisrejo dan Kresikan Kecamatan Tanggunggunung.
Sapani mengajak seluruh warga desa harus menjadi pemanfaatnya, tidak ada yang terlewat. Dan, kemajuan tiada akan berhenti, melainkan berkelanjutan bagi generasi-generasi mendatang. Mewujudkan desa tanpa kemiskinan, tanpa kelaparan, layak air bersih dan sanitasi, berenergi bersih dan terbarukan, infrastruktur dan inovasi sesuai kebutuhan. Warganya sehat dan sejahtera, menerima pendidikan berkualitas, perempuan berpartisipasi, menumbuhkan ekonomi merata, konsumsi dan produksi sadar lingkungan. Tinggal di permukiman yang aman dan nyaman, tanggap perubahan iklim, peduli lingkungan laut dan darat, damai berkeadilan, bermitra membangun desa, tutur kades Pojok.(har/al).