Suksesi Nasional, Surabaya – Keterangan saksi Yunita Wijaya selaku mantan Bendahara Perkumpulan Pembinaan Mental Karate (PMK) Kyokushinkai Karate-Do Indonesia.
Rupanya keterangannya membuat binggung dirinya sendiri, lantaran ketua Majelis secara langsung mengatakan pada saksi dengan kata – kata, saksinya binggung.
Tak hanya itu BAP, pun dianggap Hakim Copi paste. Dalam fakta persidangan saksi yang dihadirkan Jaksa Penuntut Umum (JPU) untuk memberikan saksi atas perkara pencemaran nama baik atas terdakwa Usman Wibisono.
Menurut saksi menceritakan adanya ancaman dari terdakwa kepada tiga orang pengurus Perkumpulan Pembinaan Mental Karate (PMK) Kyokushinkai Karatedo Indonesia bahwa dirinya waktu itu menjabat sebagai bendahara Perkumpulan PMK Kyokushinkai Karate-Do Indonesia sejak 2015 hingga 2022.
Semua baik pencatatan dan pembayaran saksi bekerja Atas Perintah Erick , sedangkan yang mencairkan uang arisan adalah Erick .yang diketahui saksi nilai uang itu bukan 11 miliar melainkan 7,9 miliar.
Tak hanya itu mengetahui bahwa terdakwa melakukan dugaan pencemaran nama baik setelah membaca pesan Whatsapp antara Tjandra Sridjaja Pradjonggo yang saat itu menjabat sebagai Ketum Perkumpulan PMK Kyokushinkai Karate-Do Indonesia dengan Erick.
Dalam pesan itu ada surat minta duit yang ditujukan kepada Pak Erick dan Pak Tjandra,” kata Yunita Wijaya
Dalam pesan Whatsapp itu, terdakwa Usman Wibisono meminta uang sisa hasil arisan sebesar Rp 11 miliar. Dan Usman Wibisono tidak mempunyai kapasitas untuk meminta uang arisan
Bahkan ada chat yang mengatakan, Dul uangnya segini bukan segitu. Dul balekno duwek’e (Dul kembalikan uangnya) Bahasanya kasar banget,” kata Yunita menirukan narasi dalam chat Whatsapp tersebut.
Namun meski merasa dicemarkan nama baiknya, Erick tetep berupaya untuk mengundang terdakwa dan Liliana Herawati, Ketua Umum Perkumpulan PMK Kyokushinkai Karate-Do Indonesia.
“Tapi mereka tidak pernah datang dan tidak ada alasan,” pungkas Yunita.
Dihadapan majelis hakim saksi menyebutkan kronologis terkait pelaporan, dimana somasi pertama dan kedua di kirimkan. Setelah somasi di kirimkan barulah terjadi laporan polisi, antara chat dengan laporan polisi mana yang lebih dulu, tetapi saksi tidak tahu .
Nenurut saksi uang arisan tidak Rp 11 miliar tetapi yang sebenarnya Rp 7,9 miliar. Ketika ditanya hakim apakah Rp 7,9 miliar sisa arisan apakah ada , saksi hanya menjawab tidak tahu .
Saksi Yunita kelabakan ketika dicerca pertanyaan terdakwa dasar dari dharma bakti , sedangkan saksi bukan peserta arisan tetapi penjadi pengurus bendahara arisan.
Ketika ditunjukan buku eka dharma bakti dihadapan majelis hakim, saksi menjawab tidak pernah melihat buku ini . Saksi hanya sebagai bendahara yang mengelola semua Pak Erick , sebagai bendahara sksi tidak tahu terkait pengeluaran cek dan giro 29 kali , terkait rincihan Rp 7,9 miliar rincianya saksi tidak tahu.
Saat ditanya kapan arisan perkumpulan berdiri, jawab saksi tahun 2017, bukan 2007. Ketika ditanya Anggaran Dasar perkumpulan apakah boleh meminjam uang arisan ? jawab saksi boleh .
Padahal dalam anggaran dasar arisan perkumpulan tidak boleh meminjam. Sedangkan arisan sebagai penunjang perkumpulan bukan miliknya perguruan .Terkait terkumpulnya uang arisan sejumlah Rp 29 miliar yang di dalam rekening saksi tidak tahu .
Hakim dibuat bingung aturan penarikan arisan yang dijelaskan oleh saksi .Beda dengan arisan pada umumnya bayar nama keluar uang dapat, tapi ini tidak .
Ketika ditanya anggota perkumpulan tahun 2020 seluruhnya berapa ? saksi hanya menjawab tidak tahu .
Sementara dari semua keterangan saksi disangkal oleh terdakwa tidak benar semua , tak hanya itu dalam persidangan pun hakim sempat berkata , Saksi sebagai Bendahara memberikan keterangan bingung tok,” ujar Ketua Majelis Hakim .(rus)