Suksesi Nasional, Jakarta – INDONESIA BERDUKA… Sastrawan besar Indonesia, Prof Dr Sapardi Djoko Damono wafat, Ahad (19/7/2020) pukul 09.17 di Rumah Sakit Eka Hospital BSD, Tangerang Selatan. Sapardi wafat dalam usia 80 tahun, lahir di Surakarta 20 Maret 1940.
Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un — Sesungguhnya kami adalah milik Allah dan kepada-Nya lah kami kembali.
Kabar duka wafatnya penyair 70-an itu cepat menyebar di WhatsApp Group (WAG). Bersamaan dengan kabar tersebut, puisi-puisi Sapardi kembali dibaca dan dikirim ke bebagai WAG. Kesenduhan menyergap. Sapardi dikenal sederhana, tokoh besar dalam sastra Indonesia. legenda. Dan, banyak orang kehilangan.
Sapardi telah mebukukan 13 antologi puisi, sejak kumpulan Duka-Mu Abadi pada 1969; Mata Pisau (1974), hingga Kolam (2009). Selain puisi, Dekan Fakultas Sastra Universitas Indonesia pada 1999-2004 ini, juga menulis puluhan buku, di antaranya Sosiologi Sastra: Sebuah Pengantar Ringkas (1978); Politik, Ideologi, dan Sastra Hibrida (1999); Sihir Rendra: Permainan Makna (1999).
Karya sastra terjemahan Sapardi — pengajar Pascasarjana Institut Kesenian Jakarta — antara lain, Lelaki Tua dan Laut (The Old Man and the Sea, Hemingway); Daisy Manis (Daisy Milles, Henry James); Puisi Brasilia Modern,Dimensi Mistik dalam Islam karya Annemarie Schimmel; Duka Cita bagi Elektra (Mourning Becomes Electra oleh Eugene O’Neill); dan Amarah I dan II (The Grapes of Wrath, John Steinbeck).
Saya tertarik membaca karya-karya Sapardi, sejak remaja pada 1970-an, melalui puisinya berjudul Mata Pisau:
MATA PISAU
Oleh: Sapardi Djoko Damono
mata pisau itu tak berkejap menatapku;
kau yang baru saja mengasahnya
berpikir: ia tajam untuk mengiris apel
yang tersedia di atas meja
sehabis makan malam:
ia berkilat ketika terbayang olehnya urat lehermu.
(1971)
MASA itu, saya tidak tahu pesan yang ingin disampaikan Sapardi melalui puisi itu. Juga tidak tahu menafsirkannya. Namun setiap membaca puisi ini, saya merinding, terasa ngilu. Sejak itu, saya mengikuti puisi-puisi Sapardi.
AKU INGIN
Oleh: Sapardi Djoko Damono
aku ingin mencintaimu
dengan sederhana
dengan kata yang tak sempat
diucapkan kayu kepada api
yang menjadikannya abu
aku ingin mencintaimu
dengan sederhana
dengan isyarat yang tak sempat
disampaikan awan kepada hujan
yang menjadikannya tiada
PUISI tahun 1989 ini, sangat populer di kalangan anak-anak muda penggemar sastra. Bahkan, bait-baitnya dijadikan kata-kata dalam surat undangan perkawinan. Pilihan kata-katanya sederhana, mudah dipahami oleh siapa saja, namun ketika direnungkan, terasa sangat syarat makna: cinta yang kuat — kayu kepada api, yang menjadikannya abu; isyarat awan kepada hujan.
Puisi-puisi Sapardi menggunakan bahasa yang terkesan “sederhana”, namun sangat estetik, perlambang, penuh metafora, dan bunyi yang indah. Tidak banyak penyair bisa membuat puisi seperti itu.
Dalam wawancara media tentang proses penciptaanya, Sapardi mengaku tidak memberi beban makna pada karya-karyanya. Justru, pembacalah yang memburu makna dari pilihan-pilihan kata dalam syairnya. Sajak yang baik, menurutnya, adalah sajak yang mengundang banyak tafsir.
Makna sebuah puisi ia serahkan kepada pembaca. Sebab tugas sebagai seorang penyair sudah selesai ketika sebuah sajak rampung tuliskan. Ketika sudah diterbitkan, puisi bukan milik penyairnya lagi, tapi milik siapa yang menggunakannya. “Loh, pekerjaan saya kan sudah selesai, menulis,” kata Sapardi (Kumparan.com, 19 Juni 2017)
Sastrawan Abdul Hadi W.M dalam tulisannya di Berita Yudha, Sabtu, 14 Juni 1975), menyatakan, kata-kata dalam puisi Sapardi memiliki kekuatan yang mungkin tidak dimiliki oleh penyair-penyair lainnya. “Kemampuan observasinya terhadap alam dan peristiwa kecil-kecil, diangkatnya menjadi sajak yang bermakna.”
Melalui karya-karyanya, Sapardi Djoko Damono menerima sejumlah penghargaan nasional dan internasional, di antaranya penghargaan Cultural Award dari Pemerintah Australia (1978), Anugerah Puisi-Puisi Putera II untuk bukunya Sihir Hujan dari Malaysia (1983), penghargaan Dewan Kesenian Jakarta atas bukunya Perahu Kertas (1984), SEA Write Award dari Thailand (1986), Achmad Bakrie Award for Literature (2003), dan dari Akademi Jakarta (2012).
Gaya puisi-puisi Sapardi mempengaruhi penyair-penyair berikutnya, bahasa yang mudah dimengerti dan imajinatif.
YANG FANA ADALAH WAKTU
Oleh: Sapardi Djoko Damoni
Yang fana adalah waktu. Kita abadi:
memungut detik demi detik,
merangkainya seperti bunga
sampai pada suatu hari
kita lupa untuk apa.
“Tapi, yang fana adalah waktu, bukan?” tanyamu.
Kita abadi.
(1978)
SAPARDI Djoko Damono telah meninggalkan dunia yang fana. Jenazah almarhum dikebumikan di Taman Pemakaman Giritama, Giri Tonjong, Bogor, Ahad sore, setelah Ashar. Nisan terpancang di atas gundukan tanah merah, sebagai pertanda. Semoga Allah Subhanahu wa ta’ala, pemiliknya, melapangkan jalannya menuju Jannatun Na’iim — Surga yang Penuh Kenikmatan.
InshaAllah puisi-puisinya akan terus dikenang, dibaca, direnungkan, tentang kesederhanaan, kemanusiaan, keindahan, juga kematian.
PADA SUATU HARI NANTI
Oleh: Sapardi Djoko Damono
Pada suatu hari nanti,
jasadku tak akan ada lagi,
tapi dalam bait-bait sajak ini,
kau tak akan kurelakan sendiri.
Pada suatu hari nanti,
suaraku tak terdengar lagi,
tapi di antara larik-larik sajak ini
Kau akan tetap kusiasati
Pada suatu hari nanti,
impianku pun tak dikenal lagi,
namun di sela-sela huruf sajak ini,
kau tak akan letih-letihnya kucari
(1991)
Puisi-puisi Sapardi, saya ingin membacanya lagi. Berkali-kali.
Asro Kamal Rokan
Wartawan Senior, Anggota Dewan Kehormatan PWI Pusat
(Rubrik ini telah dimuat di rmol.id )