Suksesi Nasional, Jakarta – Indonesia masuk dalam jajaran negara yang sangat sedikit menggelontorkan stimulus fiskalnya di tengah perlawanan melawan pandemi Covid-19.
Indonesia bersama Vietnam dan Filipina masuk jajaran terbawah dalam paket kebijakan fiskal mengatasi pandemi Covid-19.
Pemerintah Filipina hanya 3,1% dari PDB untuk mengatasi pandemi Covid-19. Filipina melakukan lockdown selama 3 bulan saat pandemi menyerang negara dengan 109 juta penduduk tersebut.
Kasus positif di Filipina mencapai 67.456 orang dengan 1.831 kematian. Ini merupakan data hingga 20 Juli 2020 dari Worldometers. Filipina berada pada peringkat 30 besar kasus positif terbanyak di dunia.
Sementara, peringkat kedua terbuncit urusan stimulus fiskal adalah Vietnam dengan 4,1% dari PDBnya. Namun negara ini hanya melaporkan 383 kasus positif Covid-19 dengan kematian NOL.
Bagaimana Indonesia?
Indonesia berada diperingkat 25 besar negara dengan kasus positif terbanyak. Di mana ada 4.143 kematian berdasarkan data Worldometers yang diakses 20 Juli 2020 pagi ini.
Indonesia menggelontorkan stimulus fiskal ketiga terbuncit dibandingkan negara Asia lainnya yakni hanya 4,3% dari PDB.
Di awal rencananya, pemerintah menjelaskan stimulus akibat Covid-19 ini mencapai Rp 405,1 triliun. Namun kemudian bengkak.
Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati mengatakan anggaran Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) akibat pandemi Covid-19 ditetapkan Rp 905,10 triliun.
Adapun anggaran ini sudah mengalami kenaikan sebanyak empat kali. Pertama kali pemerintah mengalokasikan pembiayaan PEN sebesar Rp 405,1 triliun, kemudian naik menjadi Rp 677,2 triliun, lalu naik lagi menjadi Rp 695,2 triliun dan saat ini yang terbaru hampir mencapai Rp 905,10 triliun.
“Program Penanganan Covid-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional diperkirakan akan memakan pembiayaan sebesar Rp 905,10 triliun,” tulis Sri Mulyani melalui akun Instagramnya, Jumat (19/6/2020).
Kenaikan anggaran penanganan pandemi Covid ini tentunya akan membuat defisit fiskal ikut melebar. Adapun sebelumnya defisit anggaran diprediksi mencapai Rp 1.039,2 triliun atau menjadi 6,34% dari PDB.
Jurang Resesi di Depan Mata
Dalam proyeksi terbarunya, Dana Moneter Internasional (IMF) memperkirakan ekonomi dunia mengalami kontraksi (pertumbuhan negatif) 4,9%. Lebih dalam dibandingkan proyeksi sebelumnya yakni -3% di kuartal II-2020.
Lembaga yang berkantor pusat di Washington DC itu juga merevisi ke bawah proyeksi untuk Indonesia. Awalnya, IMF memperkirakan ekonomi Indonesia masih bisa tumbuh 0,5% pada tahun ini.
Namun proyeksi terbaru memperkirakan ekonomi Tanah Air akan terkontraksi -0,3%.
Presiden Joko Widodo (Jokowi) pun sudah berkali-kali menyampaikan informasi ini kepada jajarannya. Kabar tersebut langsung didengar dari Direktur Pelaksana IMF Kristalina Georgieva.
”Saya telpon Ibu Kristalina, ini Managing Director IMF. Dia menyampaikan pada saya, di telepon bahwa dunia akan terkontraksi,” kata Jokowi saat memberikan pengarahan kepada gubernur di Istana Kepresidenan Bogor, Jawa Barat, seperti dikutip Sabtu (18/7/2020).
“Bahkan di tahun 2020, perkiraan-perkiraan itu sudah berubah total. Terakhir yang saya terima dari OECD, Perancis misalnya di angka -17,2%. Inggris -15,4%. Jerman -11,2%. Amerika (Serikat) -9,7%. Minus semuanya, negara-negara minus, enggak ada yang plus semua.”
Eks Gubernur DKI Jakarta itu mulai bersikap realistis terhadap prospek perekonomian Indonesia yang saat ini dalam situasi krisis akibat pandemi corona. Jokowi bahkan menyebut,
Hal ini dikemukakan Jokowi saat memberikan pengarahan kepada para gubernur mengenai percepatan penyerapan APBD 2020 di Istana Kepresidenan Bogor, Jawa Barat.
“Kita harus berani berbuat sesuatu untuk ini diungkit ke atas lagi. Momentumnya adalah di bulan Juli, Agustus, September. Kuartal tiga. Momentumnya ada di situ,” kata Jokowi.
“Kalau kita enggak bisa mengungkit di kuartal ketiga, jangan berharap kuartal keempat akan bisa. Sudah. Harapan kita hanya ada di kuartal ketiga. Juli, Agustus, dan September.”
Jokowi tak memungkiri bahwa Indonesia saat ini memasuki situasi yang luar biasa sulit lantaran harus berhadapan masalah ekonomi dan kesehatan. Maka dari itu, Jokowi meminta seluruh pihak dapat mengendalikan situasi ini.
Eks Wali Kota Solo itu memperkirakan pertumbuhan ekonomi kuartal II-2020 akan mencatatkan minus yang cukup tinggi. Menurutnya, angka pertumbuhan ekonomi jatuh di -4,3%. ”Dari hitungan pagi tadi yang saya terima, mungkin kita bisa minus ke 4,3%,” kata Jokowi.
Tak Punya Uang?
Ekonom Senior INDEF Dradjad Wibowo mengungkapkan, hal utama yang dihadapi pemerintahan Joko Widodo saat ini adalah karena tidak adanya likuiditas.
Bahkan Dradjad mengatakan Indonesia banyak kebutuhannya tapi sayang tak ada uang. “Situasi sekarang seperti utak-atik di atas kerja, tetapi duit di lemari terbatas. [Pemerintah] Ngitungnya bisa, duitnya enggak ada,” kata Dradjad.
Dradjad menuturkan saat ini ekonomi Indonesia sudah parah. Dan memang penurunan terlihat sejak Covid-19 belum tampak.
“Sebelum ada pandemi Covid-19 ekonomi kita sudah drop, meskipun tidak separah sekarang. Solusinya ya kejar sumber-sumber penerimaan pajak dan negara yang selama ini terlewat, misalnya dari tambang mineral nikel atau cukai,” paparnya.
Cuma Utang Solusinya?
Pemerintah telah memperlebar defisit anggaran tahun 2020 menjadi 6,34% atau Rp 1.039,2 triliun. Pelebaran ini sejalan dengan Peraturan Presiden (Perpres) nomor 72 tahun 2020 yang merupakan revisi dari PMK nomor 54 tahun 2020.
Adapun pelebaran defisit disebabkan oleh meningkatnya biaya pemulihan ekonomi nasional akibat tekanan dari pandemi Covid-19.
Dengan kondisi ini pemerintah pun melakukan berbagai langkah untuk bisa membiayai kebutuhan defisit tersebut. Sebab, penerimaan negara saat ini juga tidak mampu karena sedang tertekan.
Direktur Strategi dan Portofolio Pembiayaan DJPPR Riko Amir mengatakan, untuk membiayai defisit pemerintah lebih dulu akan menggunakan tabungan melalui saldo anggaran lebih (SAL) hingga dana yang ada di Badan Layanan Umum (BLU).
Namun, itu saja tidak cukup sehingga pemerintah memilih untuk menerbitkan Surat Berharga Negara (SBN) hingga meminjam kepada lembaga keuangan internasional seperti Bank Dunia, ADB dan sebagainya.
Riko menjelaskan, untuk semua instrumen ini yang paling aman dan dipilih oleh pemerintah adalah pinjaman. Sebab, biaya dari pinjaman lebih murah dibandingkan penerbitan SBN. Hanya saja memang ada beberapa risiko untuk hal tersebut.
“(Untuk pembiayaan) Kita cari yang cost of fund-nya paling murah dan risikonya juga terjaga. Tapi risiko utang harus dikelola dengan baik tidak semata-mata cari yang paling murah. Tapi kalau cari yang paling murah ya saat ini adalah pinjaman, tapi punya risiko,” ujarnya saat diskusi virtual, Kamis (2/7/2020).
Lanjutnya, setidaknya ada tiga risiko yang bisa terjadi saat melakukan pinjaman. Pertama, valuta asing yang kadang tidak terkendali.
Kedua, tingkat bunga yang menurun sehingga untuk memitigasinya pemerintah lebih memilih yield fix rate daripada variabel rate.
Ketiga adalah risiko refinancing yang harus terus dijaga. “Karena kita tidak ingin pembiayaan kita semua yieldnya jatuh tempo di satu titik, ini kita harus memanage sehingga bisa tetap lakukan pembayaran tanpa ganggu APBN,” jelasnya.
Sumber: cnbcindonesia.com