Suksesi Nasional, NTT – Tim hukum Paket Maksi-Ronal minta hakim tunggal Pengadilan Negeri Ruteng dapat membatalkan penetapan tersangka Maksi Ngkeros dalam tuduhan melakukan kampanye hitam di Rampasasa, pada 7 Oktober 2024.
Permohonan ini disampaikan pada sidang perdana praperadilan pada Senin, 11 Nopember 2024. Sidang praperadilan ini akan di gelar maraton selama kurang lebih selama 7 hari.
Tim kuasa hukum yang terdiri dari Dr. Siprianus Edi Hardum, SH, MH; Melkhior Judiwan, S.H. M.H; Wilhelmus Ngaruk, SH, Robertus Antara, SH dan Roderik Imran, SH, MH minta hakim tunggal Pengadilan Negeri Ruteng memutuskan dan memerintahkan Sentra Penegakan Hukum (Gakumdu) Manggarai dan atau Polres Manggarai untuk menghentikan penyidikan terhadap Maksi Ngkeros sebab penetapan tersangka terhadap calon Bupati Manggarai itu tidak memenuhi syarat formil.
Penetapan tersangka Maksi Ngkeros hanya berdasarkan video di akun facebook yang meng-upload sepotong pidato Maksi Ngkeros di Rampasasa. Tindakan Polres Manggarai dan atau Gakumdu Manggarai jelas bertentangan dengan Putusan MK Nomor 20/PUU-XIV/2016.
Dalam Pasal 5 ayat (1) dan (2) UU ITE ini, Mahkamah Konstitusi melalui Putusan Nomor 20/PUU-XIV/2016 (“Putusan MK 20/2016”) menyatakan bahwa frasa “Informasi Elektronik dan Dokumen Elektronik” bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai khususnya frasa “Informasi Elektronik dan Dokumen Elektronik” sebagai alat bukti dilakukan dalam rangka penegakan hukum atas permintaan kepolisian, kejaksaan, dan/atau institusi penegak hukum lainnya yang ditetapkan berdasarkan undang-undang sebagaimana ditentukan dalam Pasal 31 ayat (3) UU ITE.
Sedangkan Pasal 31 ayat (3) UU 19/2016 sendiri berbunyi: Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) tidak berlaku terhadap intersepsi atau penyadapan yang dilakukan dalam rangka penegakan hukum atas permintaan kepolisian, kejaksaan, atau institusi lainnya yang kewenangannya ditetapkan berdasarkan undang-undang.
Apabila dilihat dari pertimbangan hukumnya, pada dasarnya tujuan Putusan MK 20/2016 di atas adalah untuk menegaskan bahwa setiap intersepsi dan atau merekam termasuk memvideo harus dilakukan secara sah, terlebih lagi dalam rangka penegakan hukum (hal. 96).
Bagaimana agar informasi dan dokumen elektronik dapat dijadikan alat bukti hukum yang sah? UU ITE mengatur bahwa adanya syarat formil dan syarat materil yang harus terpenuhi.
Syarat formil diatur dalam Pasal 5 ayat (4) UU ITE, yaitu bahwa informasi atau dokumen elektronik bukanlah dokumen atau surat yang menurut perundang -undangan harus dalam bentuk tertulis. Selain itu, informasi dan/atau dokumen tersebut harus diperoleh dengan cara yang sah, ujar mereka.
Ketika alat bukti diperoleh dengan cara yang tidak sah, maka alat bukti tersebut wajib dikesampingkan hakim atau dianggap tidak mempunyai nilai pembuktian oleh pengadilan.
Sedangkan syarat materil diatur dalam Pasal 6, Pasal 15, dan Pasal 16 UU ITE, yang pada intinya informasi dan dokumen elektronik harus dapat dijamin keotentikannya, keutuhannya, dan ketersediaanya. Untuk menjamin terpenuhinya persyaratan materil yang dimaksud dibutuhkan digital forensik.
Edi Hardum mengatakan, dalam penetapan klien mereka sebagai tersangka dalam tindak pidana “Pemilihan Umum/Pilkada”, kliennya sama sekali tidak memiliki bukti-bukti, apalagi bukti-bukti yang lebih terang daripada cahaya.
Hal yang sama juga diutarakan Melkhior, penyidik dalam menetapkan Maksi sebagai tersangka tanpa didukung oleh bukti-bukti yang dari sisi kualitas dan/atau kuantitas alat bukti suatu tindakan Pidana Pemilihan yaitu Black Campaign tidak terpenuhi.
Bahwa penyidik dalam menetapkan calon Bupati Manggarai Nomor 1 sebagai tersangka juga bertentangan dengan Pasal 1 angka 14 KUHAP dan Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor: 21/PUU-XII/2014, tanggal 28 Oktober 2014, tegasnya. (Bel)