Suksesi Nasional, Jakarta – Nasib rakyat Indonesia bisa makin kejepit. Harga kebutuhan pokok bakal naik tinggi. Bisa – bisa dapur tidak ngebul dan warga miskin makin banyak. Ini bisa jadi kenyataan ketika kabar kenaikan harga Pertalite betul – betul dieksekusi pemerintah.
Rencana pemerintah yang bakal menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM) jenis (RON) 90 atau Pertalite ini diungkapkan oleh Ketua Komisi VII DPR RI, Sugeng Suparwoto dilansir CNBC, dikutip Jumat (15/4/2022).
Sugeng mengatakan bahwa berdasarkan hitung-hitungan yang telah ia lakukan, kenaikan Pertalite idealnya adalah sebesar Rp 2.000 per liter. Artinya dengan harga jual Pertalite yang saat ini berada di level 7.650 per liter, maka Jenis Bahan Bakar Minyak Khusus Penugasan (JBKP) ini akan berada di level Rp 9.000 – 10.000 per liter.
“Kita sudah ada semacam hitung-hitungan Pertalite sudah naik Rp 3000 per liter paling tinggi, idealnya di angka Rp 2000, sehingga harganya di Rp 9000 per liter menggantikan Pertamax yang lalu,” katanya.
Dengan kenaikan tersebut, menurut Sugeng keuangan Pertamina setidaknya akan sedikit terbantu. Pasalnya, cash flow Pertamina saat ini sudah cukup kritis dalam menanggung beban kenaikan harga minyak dunia.
Seperti diketahui, pemerintah berencana menaikkan harga BBM jenis Pertalite-Solar, Liquefied Petroleum Gas (LPG) subsidi 3 Kg, hingga tarif listrik dalam kondisi saat ini kurang tepat. Hal ini dilakukan sebagai respon meningkatnya komoditas energi di pasar internasional.
Sebelumnya, Menteri ESDM Arifin Tasrif dalam Rapat Kerja bersama Komisi VII DPR menyampaikan dalam jangka menengah panjang pemerintah akan melakukan penyesuaian harga Pertalite dan minyak Solar. Hal ini sebagai respons atas lonjakan harga minyak dunia.
Pasalnya, lonjakan harga minyak dunia juga turut memicu kenaikan harga minyak mentah Indonesia (ICP) pada Maret mencapai US$ 98,4 per barel. ICP ini jauh di atas asumsi APBN yang hanya mengasumsikan sebesar US$ 63 per barel.
“Strategi menghadapi dampak kenaikan harga minyak dunia, untuk jangka menengah akan dilakukan penyesuaian harga Pertalite, minyak Solar, dan mempercepat bahan bakar pengganti seperti Bahan Bakar Gas (BBG), bioethanol, bio CNG, dan lainnya,” ungkapnya.
Untuk strategi jangka pendek terkait BBM Subsidi, salah satu skenario yang akan dilakukan pemerintah yaitu menambah kuota BBM subsidi seperti Solar, minyak tanah, hingga BBM khusus penugasan seperti Pertalite (RON 90).
Kuota Solar subsidi diusulkan bertambah sebesar 2,29 juta kilo liter (kl) menjadi 17,39 juta kl, minyak tanah bertambah 0,10 juta kl menjadi 0,58 juta kl, dan Pertalite bertambah 5,45 juta kl menjadi 28,50 juta kl.
Direktur Eksekutif Center of Law and Economic Studies (Celios), Bhima Yudhistira menyatakan, alangkah baiknya pemerintah tutup buku atas rencana kenaikan sejumlah harga komoditas energi. Apalagi energi tersebut merupakan subsidi yang menjadi kebutuhan kalangan menengah bawah.
“Inflasi diperkirakan menembus 5% di 2022 apabila pemerintah bersikeras menaikkan harga Pertalite dan LPG 3 kg secara bersamaan,” ungkap Bhima, Jum’at (15/4/2022).
Meskipun harga-harga tersebut naik, masyarakat mau tidak mau akan tetap membeli karena usdah menjadi kebutuhan bagi masyarakat. Nah, dengan begitu, akhirnya berimbas kepada naiknya angka kemiskinan di Indonesia.
“Dampak ke gejolak sosial juga harus diwaspadai, konflik horizontal antar masyarakat karena ketimpangan semakin lebar antara the haves dan the have-nots bisa picu krisis multidimensi,” tegas Bhima.
Dengan begitu, menurut Bhima, ongkos pemulihan ekonomi nya akan sangat lebih mahal. Ambil contoh misalnya di Sri Lanka, yang saat ini telah mengalami kebangkrutan di negaranya, begitu juga dengan Kolombia yang mengalami hal serupa seperti naiknya harga-harga energi sebagai kebutuhan yang tak bisa dihindari.
“Jika kenaikan harga terus persisten terjadi dan beruntun pada akhirnya masyarakat akan mengurangi konsumsi barang lain seperti menunda pembelian peralatan rumah tangga, barang elektronik, otomotif, pakaian jadi dan kebutuhan lain.
Efek terburuk adalah penutupan pelaku usaha UMKM di sektor makanan minuman karena tidak kuat menanggung naiknya biaya produksi.
Kalau UMKM gulung tikar, kita bisa perkirakan sendiri berapa banyak yang jadi pengangguran baru apalagi 97% serapan tenaga kerja ada di UMKM,” tandas dia. (tim)