Merakyat saja tidak cukup. Dia harus jujur. Merakyat dan jujur saja, juga tidak cukup. Dia harus bertakwa. Merakyat, jujur dan bertakwa saja pun belum cukup. Dia juga harus berkarisma dan berkarakter kuat. Indonesia memerlukan presiden yang memiliki semua aspek. Di atas semua itu, dia harus cendekia.
Sekadar mengingatkan, cendekia mencakup banyak hal yang berbasis IQ tinggi. Begini definisi “cendekia” menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI). Saya copas langsung dari KBBI daring. Kalau ada waktu, tolong dibaca beberapa kali definisi berikut ini.
CENDEKIA/cen·de·kia/ 1 tajam pikiran; lekas mengerti (kalau diberi tahu sesuatu); cerdas; pandai; 2 cepat mengerti situasi dan pandai mencari jalan keluar (pandai menggunakan kesempatan); cerdik; 3 terpelajar; cerdik pandai; cerdik cendekia.
Berdasarkan definisi ini, seorang presiden yang cendekia harus memiliki kapasitas pikir (thinking capacity) yang berlebih. Harus di atas rata-rata. Supaya dia menguasai masalah apa saja. Presiden ‘wajib’ menguasai semua masalah. Kalau pun dia tidak tahu secara detail semua masalah yang terkait dengan penyelenggaraan negara dan pemerintahan, setidaknya seorang presiden memahami simpul-simpul penting dari masalah yang sedang terjadi.
Presiden wajib tahu kisi-kisi semua masalah dan peristiwa.
Dia, misalnya, harus paham soal landas kontinen (continental basin). Ini istilah hukum laut internasional. Tidak harus tahu detail. Tapi, presiden bisa berbicara ketika ditanya tentang pertikaian perairan. Presiden juga harus mengerti serba sedikit tentang ekonomi makro, port-folio investment, capital flight, Das Capital, tax holiday, Kyoto Protocol, dlsb.
Presiden musti mengerti soal ‘debt to GDP ratio’ supaya dia tidak menjerumuskan negara ke lembah utang. Supaya tidak memaksakan diri berutang secara berlebihan. Ada pula istilah ‘debt trap’ (perangkap utang) yang harus dicermati. Sangat mungkin ‘debt trap’ itu menjadi bagian dari ‘geo-politcal strategy’ (strategi geo-politik) sebuah negara besar. Misalnya, banyak orang yang percaya bahwa China menerapkan ini lewat kebijakan OBOR (One Belt One Road) yang intinya adalah hegemoni dan kolonialisasi dengan ‘casing’ baru.
Presiden yang cendekia pasti bisa mengikuti diskusi tentang ‘bio-diversity’. Ini penting untuk menunjukkan bahwa Indonesia memiliki keprihatinan terhadap kerusakan lingkungan. Saat ini, Indonesia kehilangan banyak spesies dalam keragaman hayati. Di pentas internasional, masalah ‘bio-diversity’ selalu menjadi topik hangat yang sangat politis sifatnya. Presiden perlu memahami isu ini.Ada terminoligi perang asimeteris (asymmetric warfare). Yaitu, perang yang ditandai perbedaan mencolok dalam persenjataan dan strategi atau taktik. Sebagai negara besar yang berposisi strategis, presiden Indonesia harus mampu berdiskusi dengan para menteri bidang pertahanan tentang langkah-langkah yang diperlukan untuk memperkecil dampak negatif secara militer dan psikologis akibat disparitas perangkat perang. Presiden harus bisa memberikan pengarahan dan mengambil keputusan yang tepat dan cepat.
Itulah beberapa contoh tentang perlunya seorang presiden yang cendekia. Yang berpikiran tajam, cerdas dan cerdik. Smart thinking, smart actions.
Intinya, orang yang cendekia itu punya otak. Tidak setiap hari, setiap saat, setiap masalah, bergantung pada tim penasihat. Lawan dari cendekia adalah dungu. Mari kita simak sebentar definisi ‘dungu’ berikut ini. Juga menurut
DUNGU/du·ngu/ sangat tumpul otaknya; tidak cerdas; bebal; bodoh.
Bisa dibayangkan kalau seorang presiden memiliki kapasitas yang berlawanan dengan kemampuan seorang cendekia. Orang yang cendekia tahu apa yang harus dia lakukan jika ada masalah. Sebaliknya, presiden yang dungu sangat membahayakan negara.
Dia tidak paham masalah yang terjadi. Kalau pun dia paham, dia tidak memiliki kapabilitas untuk mengatasi masalah. Tidak memiliki kemampuan. Akibat literasi yang minim.
Celakanya, seorang presiden yang dungu merasa memiliki kemampuan. Dan lebih celaka lagi, orang-orang yang cendekia siap melakukan apa saja untuk menutupi kedunguan seorang presiden.
Akhirnya, mari kita jawab satu pertanyaan: mengapa Indonesia memerlukan presiden yang tidak dungu?
Karena Indonesia ini besar dari banyak aspek. Besar dalam hal demografi. Besar dari segi geografi. Besar dalam ‘natural resources’ (sumberdaya alam). Dan besar dari aspek ekonomi, bisnis, dan kemaritiman.
Di tangan seorang presiden yang dungu, Indonesia akan hancur berantakan. Menjadi lemah tanpa martabat dan wibawa. Untuk kemudian menjadi makanan empuk negara-negara kuat, terutama China.
Apakah kita bisa menemukan figur sesempurna penjelasan di bagian awal tulisan ini? Jawabannya: harus ada. Dan pasti ada. Asalkan jangan Anda sengaja mencari orang yang dungu. (artikel ini telah terbit i oposisi cerdas)
Penulis: Asyari Usman (Wartawan Senior)