Suksesi Nasional, Jakarta – Nama Pak Lurah kembali viral. Sebutan inisial yang selama ini terdengar samar, berada di bawah permukaan, namun lazim jadi perbincangan kalangan elit, awak media, konsultan politik, dan pegiat demokrasi. Kini kian populer setelah Jokowi mengungkap bahwa Pak Lurah sebutan bagi dirinya. Jokowi menampik ia bukan Pak Lurah, tapi Presiden Republik Indonesia.
Perasaan Jokowi tampak campur aduk dalam pidato sidang tahunan MPR beberapa hari lalu. Antara jengkel dan sibuk mengklarifikasi situasi politik yang bergerak dinamis. Jengkal karena semua sikap partai, terutama kedekatan dengan Prabowo Subianto selalu dikaitkan dengan dukungan Jokowi. Teranyar, dukungan Golkar dan PAN juga ditengarai atas restu Jokowi.
Bahkan kandidasi pencapresan Pilpres 2024 juga sangat tergantung orkestrasi politik Jokowi. Salah satunya soal siapa cawapres Prabowo, bagaimana treatment PDIP ke Jokowi, hingga soal bisa-tidaknya Anies Baswedan tanding pemilu dikaitkan dengan Pak Lurah. Pendukung Anies sampai saat ini masih menuduh ada upaya kekuasaan menjegal Anies maju pilpres.
Di depan ratusan politisi Senayan, kepala lembaga negara, dan ketua umum partai, Jokowi lebih banyak mengklarifikasi tentang dirinya yang selalu ditengarai ikut campur proses pencalonan pilpres. Persisnya curhat. Mulai dari tuduhan mengintervensi sikap partai hingga dijadikan alibi dan ‘paten-patenan’ dengan memajang foto Pak Lurah dengan capres tertentu di seantero Tanah Air.
Jokowi memang selalu dikaitkan dengan semua konfigurasi politik yang berkembang saat ini. Bahkan jika diringkus sederhana, bicara soal pilpres, semua di bawah kendali Pak Lurah. Tak mengherankan jika publik berkesimpulan bahwa Pilpres 2024 rasa Jokowi, sangat tergantung bagaimana dukungan dan sikap politik Pak Lurah.
Tiga Parameter
Sekedar menyebut tiga parameter pilpres kali ini dikaitkan dengan Jokowi. Pertama, ada kesan, bahkan mengarah pada satu keyakinan, pemenang pilpres ditentukan kemana arah dukungan politik Jokowi berlabuh.
Dalam konteks ini kubu Prabowo Subianto dan Ganjar Pranowo terlihat saling klaim. Bagi pendukung Ganjar iman politik Jokowi pasti tegak lurus ke PDIP total dukung Ganjar. Apapun judulnya, Jokowi kader PDIP.
Sebaliknya, kubu Prabowo seakan mendapat angin surga di tengah isu keretakan Jokowi dengan PDIP. Jokowi tampak sering memberikan kode lebih ke Prabowo ketimbang Ganjar. Termasuk soal sering pamer kemesraan keduanya. Seakan Jokowi hanya punya satu menteri, yakni Prabowo Subianto.
Justru di sinilah letak keramaian politiknya. Hubungan Jokowi dan PDIP terlihat tak baik-baik saja. Belakangan Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto aktif mengkritik pemerintah.
Soal uji materi ke MK terkait ambang batas minimal syarat capres dan cawapres dinilai manuver kekuasaan. Termasuk proyek food estate yang dituding sebagai kejahatan lingkungan.
Kedua, berebut berkah elektoral Jokowi. Dari survei yang dilakukan Parameter Politik pada Juni 2023 lalu mengindikasikan bahwa dukungan Jokowi pada capres tertentu, terutama pada Ganjar dan Prabowo, bisa meningkatkan elektabilitas di kisaran angka 5 persen.
Misalnya, jika posisi elektabilitas Ganjar dan Prabowo saat ini sama-sama 30 persen, siapapun yang mendapat dukungan terbuka Jokowi akan meningkat menjadi 35 persen.
Berkah elektoral Jokowi sedang diperebutkan Ganjar dan Prabowo. Jika PDIP berharap Jokowi total mendukung penuh Ganjar, tentu sangat logis mengingat Jokowi masih kader PDIP. Yang menjadi gaduh karena Prabowo pun berburu tuah Jokowi.
Tak mengherankan jika Ganjar dan Prabowo saling mengidenfiaksi diri paling Jokowi. Sementara Anies Baswedan nyaris tak mendapatkan berkah apapun dari Jokowi. Selain tak mungkin dukung Anies, pemilih Jokowi juga sangat anti dengan mantan Gubernur DKI Jakarta itu.
Ketiga, kubu perubahan yang mengusung Anies Baswedan berharap ‘bola muntah’ dari basis pemilih anti Jokowi. Tesis sederhananya adalah semakin sering Anies mengkritik Jokowi, ada harapan besar elektabilitas Anies bisa menjulang hingga sidratul muntaha.
Semakin agresif Anies menunjukkan deferensiasinya dengan Jokowi, semakin terbuka menginvasi ceruk pemilih yang tak puas dengan kinerja Jokowi.
Problemnya, tingkat kepuasan terhadap kinerja Jokowi cukup tinggi di kisaran angka 75 hingga 80 persen. Sehingga ceruk pemilih dari kaum pembenci Jokowi makin menyempit. Ini yang bisa menjelaskan mengapa elektabilitas Anies cenderung stagnan berjalan di tempat. Kubu Anies perlu berfikir keras dalam pemosisian sebagai antitesa Jokowi.
Reaksi PDIP
Yang menarik dicermati sikap PDIP di tengah orkestrasi politik Jokowi yang cukup luar biasa. Terutama bobot dukungan Jokowi yang dinilai lebih condong ke Prabowo. Serta gosip ‘merestui’ Golkar dan PAN merapat ke Koalisi Kebangkitan Indonesia Raya.
Tak seperti biasanya yang begitu keras menertibkan kader yang tak tegak lurus ke partai, PDIP terlihat begitu sabar melihat fenomena telanjang permainan politik Jokowi.
Secara alamiah, kader PDIP pastinya mendidih. Tanduk-tanduk kader banteng haqqul yaqin mengeras. Tapi, serangan ke Jokowi nyaris tak pernah terlihat. Kader-kader PDIP cool tanpa ada reaksi berlebihan. Mungkin PDIP sedang mempraktikkan ajaran Soekarno tentang kesabaran revolusioner.
Hanya Hasto Kristiyanto yang mengkritik halus food estate yang peluru nyasarnya sebenarnya diarahkan ke Prabowo, bukan Jokowi. Selebihnya tak ada.
Kemarahan PDIP tak tampak sama sekali. Publik membayangkan jika PDIP geram. Semua menterinya di kabinet ditarik. Ratusan anggota dewan partai banteng nyalak tiap saat. Tapi itu tak terjadi, minimal hingga saat ini. Entah ke depan seperti apa.
Publik meraba-raba apa yang sebenarnya membuat Jokowi begitu berjarak dengan partainya. Apakah karena Jokowi merasa tak nyaman karena sering disebut petugas partai.
Ataukah karena Jokowi tak dilibatkan dalam pencapresan dan penentuan cawapres Ganjar. Atau ada faktor lain yang membuat Jokowi tersinggung, mungkin. Entahlah tentu hanya elit tertentu saja yang faham soal ini semua. Publik sukar menerka.
Sikap kalem PDIP terhadap Jokowi sepertinya mengindikasikan tiga hal sekaligus. Pertama, bagi PDIP keluar-masuk kader partai perkara biasa. Sudah banyak figur top yang melakukan itu dan rata-rata mereka tak jadi apa-apa setelah pisah jalan dengan PDIP.
Kedua, PDIP cukup terlatih menantang kekuasaan. Mulai zaman Orba hingga dua periode SBY berkuasa. Ketiga, mungkin PDIP yakin bahwa suatu saat nanti Jokowi akan pulang ke rumah besarnya PDIP setelah begitu banyak bermanuver.
Terlepas apapun yang terjadi dengan Jokowi dan PDIP, di akhir kekuasannya Jokowi mesti menghindari banyak permusuhan politik. Cukup sudah Jokowi tegang dengan Surya Paloh yang menjadi sekutu utama sejak 2014. Cukup sudah Jokowi tak akur dengan Anies Baswedan yang mantan menterinya.
Sangat disayangkan jika Pak Lurah menambah ‘musuh politik’ dengan PDIP karena beda sikap di pilpres mendatang. Apapun judulnya, terlepas plus dan minusnya, PDIP merupakan partai tempat Jokowi memulai karir politik dari bawah hingga jadi presiden. Jangan sampai nila setitik rusak susu sebelanga.
Sepertinya para pemimpin bangsa perlu menengok kisah BJ Habibie yang tak urus siapa the next president Indonesia. Habibie cukup meletakkan batu bata pembangunan untuk bangsa yang lebih baik.
Setelah lengser Habibie banyak dipuja. Namanya harum semerbak penuh dedikasi. Sebab, publik cenderung tak suka pemimpin yang terlampau kelihatan cawe-cawe soal presiden selanjutnya. (Tim/ Narsum Detik News.com)